Kamis, 29 September 2011

Etika Bisnis dalam Keseharian, Masihkah Kita Pertimbangkan?

Etika Bisnis dalam Keseharian, Masihkah Kita Pertimbangkan?
Manusia adalah mahluk ekonomi (homo economicus). Kebutuhan manusia yang semakin lama semakin banyak dan kompleks, serta faktor sumber daya alam yang terbatas, baik dari segi kuantitas maupun jenisnya, membuat manusia melakukan pertukaran di antara mereka untuk memenuhi berbagai kebutuhan dengan efisien. Proses pertukaran ini yang disebut dengan (kegiatan) bisnis. Keseluruhan rangkaian kegiatan bisnis manusia ini yang dicakup dalam ilmu ekonomi.
Proses pertukaran ini baru akan tercipta bila ada kesepakatan para pihak yang terlibat. Pada mulanya, proses ini berlangsung dalam situasi yang masih sederhana: barter barang dengan barang, kemudian berkembang terus dengan penggunaan alat tukar yang berbentuk benda (seperti emas, dan lain-lain), kemudian uang kartal, uang giral, uang plastik seperti kartu kredit, kartu debit, dan seterusnya. Seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia yang semakin kompleks dan banyak jumlahnya maupun cara melakukan pertukarannya, terbentuk pula etika dalam bertransaksi pertukaran (bisnis) tersebut, yaitu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat dalam transaksi bisnis, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sulit menghindar dari keterlibatan dalam kegiatan bisnis ini untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Pagi hari, keluar dari rumah
menuju tempat kerja, kita isi bensin untuk kendaraan kita (beli bensin atau tukar uang kita dengan bensin), atau naik kendaraan umum ke tempat kerja (beli jasa transportasi atau tukar uang kita dengan jasa pengangkutan), membayar jalan tol untuk menghindari kemacetan, membayar atau membeli jasa joki untuk melewati kawasan three in one, melakukan aktivitas di kantor (menjual jasa untuk mendapatkan uang atau gaji), beli makanan buat santapan siang, bayar parkir kendaraan, dan lain sebagainya. Frekuensi keterlibatan kita dalam kegiatan bisnis (tukar-menukar) sangatlah intensif terutama di kehidupan keseharian kota-kota besar seperti Jakarta.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk bisa membahas etika bisnis secara mendalam karena begitu luasnya cakupan etika bisnis ini. Harapan saya, tulisan ini bisa mengugah kita untuk merenungkan kembali perilaku kita menyangkut etika bisnis yang hampir tiap saat kita hadapi, walaupun sering tidak disadari, misalnya: apakah membayar joki untuk melewati kawasan three in one itu perbuatan yang etis? Timbulnya kesadaran akan adanya etika bisnis yang baik dalam kehidupan keseharian kita, diharapkan akan menggiring kita ke perilaku yang lebih etis, terutama yang sesuai dengan iman kristiani.
Kita cukup sering membaca atau melihat berbagai kasus etika bisnis di media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Sudah ada pengusaha yang dipidana penjara karena melakukan tindakan penyuapan kepada oknum pejabat. Praktik persaingan tidak sehat melalui kegiatan monopoli atau oligopoli di pasar. Penggelapan pajak yang diduga dilakukan oleh beberapa (atau mungkin banyak) perusahaan. Diskriminasi yang berbau SARA di dalam organisasi perusahaan. Kita juga cukup sering melihat iklan yang menjurus ke arah penyampaian informasi yang tidak benar, berlebihan, dan menyesatkan calon konsumen.
Rendahnya kesadaran akan etika bisnis ini telah membuat beberapa pengusaha harus berhubungan dengan aparat hukum seperti KPK dan Kepolisian. Beberapa waktu yang lalu, kita mendapat informasi tentang adanya seorang pengusaha yang disidik KPK karena menyuap anggota DPR, dan akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan. Saat proses penyidikan, ia membuat pernyataan kepada pers yang menyatakan dirinya tidak bersalah. Kira-kira, pernyataannya sebagai berikut: “Bagi saya selaku pengusaha, adanya “fee” itu adalah hal yang wajar dalam bisnis, untuk memperoleh pekerjaan atau proyek. Sepanjang hitung-hitungan saya masih masuk (masih untung), saya akan kerjakan.” Membaca pernyataan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa pengusaha tadi tidak merasa melakukan tindakan penyuapan (yang salah atau tidak etis) karena salah satu anggota DPR meminta “fee” kepadanya untuk mendapat pekerjaan di salah satu Departemen.
Kalau pernyataan itu benar, sebenarnya pengusaha itu berada dalam dilema etika bisnis waktu mempertimbangkan untuk menerima pekerjaan itu atau tidak. Apakah tindakan memberikan “fee” kepada salah satu anggota DPR itu etis atau tidak, sebagai persyaratan untuk mendapatkan pengadaan barang di salah satu Departemen. Jawabannya akan sangat tergantung pada pemahamannya tentang etika dalam berbisnis. Patut disayangkan, cukup banyak pengusaha kita menganggap pemberian “fee” atau uang terima kasih atau uang jasa atau apa pun istilahnya kepada oknum pejabat sebagai suatu hal yang wajar atau etis untuk mendapatkan atau memenangkan suatu tender. Dalam melakukan transaksi, perhitungan ekonomis (untung rugi) mendominasi pengambilan keputusan, walaupun harus mengabaikan aspek etika dari suatu keputusan. Yang dicari hanya keuntungan semata, walaupun cara untuk mendapatkan keuntungan itu tidak etis. Ia tidak peduli bahwa pekerjaan itu diperoleh melalui persaingan yang tidak sehat.
Bila seseorang berada dalam suatu dilema etika bisnis, ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan untuk membantunya mengambil keputusan. Ketiga pertanyaan itu adalah:
1.      Is it legal?
2.      Is it balanced?
3.      How will it make me feel about myself? (The Power of Ethical Management, Kenneth Blanchard and Norman Vincent Peale, 1988).
Pertanyaan pertama mensyaratkan bahwa semua variabel yang dipakai dalam suatu pengambilan keputusan harus legal, tidak ada satu pun yang melanggar hukum dan hasil keputusannya pun tidak boleh melanggar peraturan perundangan-undangan yang ada. Pertanyaan kedua mengingatkan kita apakah keputusan yang diambil akan sangat menguntungkan salah satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang? Artinya keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang sifatnya win-lose karena kondisi ini biasanya akan berujung pada kondisi lose-lose bagi para pihak (pembalasan dari pihak yang dirugikan).
Pertanyaan ketiga menyentuh ke dasar hati nurani si pengambil keputusan. Keputusan yang diambil tidak boleh menimbulkan kebimbangan, keragu-raguan, dan perasaan tidak nyaman.
Etika bisnis mencakup bidang yang sangat luas, tidak hanya terkait dengan korupsi dan penyuapan saja dalam hubungannya dengan pengadaan barang dan jasa. Dalam banyak hal, kita bisa melihat praktik bisnis yang tidak etis. Kita bisa melihat begitu banyak iklan yang sifatnya bisa dikatakan menjebak konsumen, padahal iklan seharusnya merupakan sarana untuk memberikan informasi yang cermat dan benar. Sayangnya, media massa kita juga mempunyai andil di dalamnya, karena menyediakan tempat untuk iklan yang sifatnya tidak memenuhi standar etika bisnis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar